Pemancar Radio Pertama

"Wij sluiten nu. Vaarwl tot betere tijden! Leve de Koningen!"

Kami akhiri sekarang. Selamat berpisah sampai waktu yang lebih baik. Hidup Sang Ratu. Demikian NIROM (Nederlandsch Indische Radio Omroep Maatschappij), maskapai radio siaran Hindia Belanda mengakhiri siarannya pada 8 Maret 1942, saat berakhirnya masa kekuasaan pemerintah Hindia Belanda di Indonesia. Rupanya "waktu yang lebih baik" itu, bagi NIROM tidak pernah ada karena Indonesia kemudian diduduki pemerintahan militer Jepang dan kemudian merdeka pada 17 Agustus 1945.
Radio sebagai salah satu alat komunikasi massa, yang merupakan 'kekuatan kelima' memiliki fungsi penting, sebagai alat kontrol sosial, memberi informasi, menghibur, mendidik, dan melakukan persuasi. Radio di Indonesia mempunyai catatan sejarah panjang. Sejarah panjang inilah yang membawa radio di Indonesia dimulai pada masa perang dunia pertama (1914-1918). Kala itu, Negeri Belanda, dalam berkomunikasi dengan negara jajahannya, Hindia Belanda, biasa menggunakan kabel laut (teleggraf laut) melalui Aden, yang dikuasai Inggris. Sebagai negara netral pada masa perang dunia 1, negeri Belanda harus memilih jalur komunikasi, kemudian dipilih jalur udara (radio telegraf).
Percobaan komunikasi radio telegraf (gelombang radio pendek) pertamakali dilakukan pada tahun 1916 dengan peralatan Telefunken Jerman, di Desa Cangkring, di kaki Gunung Malabar Kabupaten Bandung. Pada pada tahun 1917, pesawat penerima di Cangkring dapat menerima sinyal dari stasiun pemancar telegraf di negara-negara Eropa.
Oleh karena itu, pemerintah Hindia Belanda memutuskan untuk mendirikan stasiun pemancar di lembah gunung Malabar. Tak lama kemudian pemerintah Hindia Belanda mengadakan persetujuan dengan Telefunken untuk mendirikan pemancar radio yang mempergunakan booglamp (lampu tabung). Percobaan ini ternyata berhasil, sehingga tahun 1922 sebuah antene gunung sudah berdiri tegak di lembah Gunung Malabar sentinggi 250-750 meter, yang merupakan antene tertinggi di dunia kala itu. Pada tanggal 5 Mei 1923, Stasiun Pemancar Radio Telegraf Malabar dibuka secara resmi untuk umum oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Mr. D. Foek.
Ternyata menggunakan gelombang radio pendek yang mengunakan lampu tabung biayanya lebih murah. Makanya tak heran jika, dari Stasiun Malabar ini Belanda banyak menyiarkan tanda-tanda waktu dan berita pers ke kapal-kapal dan komunikasi menggunakan radio pendek pun semakin meningkat.
Pada tanggal 11 Maret 1925, suara dari pemancar gelombang pendek PCJJ Philips Laboratoria di Eindhoven terdengar di Malabar, yang disusul pembangunan pemancar telefoni. Melalui pemancar tefoni ini, Ratu Belanda, Ratu Wilhelmina menyapa warganya yang berada di tanah jajahan (3 Juni 1927). Percakapan ini merupakan yang pertama dilakukan menggunakan gelombang pendek antara negeri Belanda dengan Hindia Belanda. Sebagai peristiwa sejarah, pemerintah Belanda kemudian mendirikan monumen di Tjitaroem Plein (Lapangan Citarum) Bandung. Monumen ini berbentuk setengah bola dunia demhan patung dua laki-laki tanpa busana dikedua sisinya berhadap-hadapan.
Monumen ini melambangkan sudah tidak ada jarak di bumi ini dengan adanya alat komunikasi. Sayang patung ini kemudian dibongkar oleh Pemerintah Kota Bandung, karena dianggap asusila. Sedangkan nama D Groot sendiri diabadikan menjadi sebuah jalan, sekarang Jalan Siliwangi.
Pada bulan Desember 1927, disiapkan pemancar telefoni kristal yang dibuat di Laboratorium Dinas Radio di Bandung. Percobaan terus dilakukan, pada 7 Januari 1929 dibuka secara resmi komunikasi radioa antara Belanda dan Indonesia. sejak saat itu demam radio muncul di mana-mana, termasuk di Indonesia. Bahkan, teks proklamasi kemerdekaan Indonesia pun berhasil dipancarluaskan ke seluruh negeri dan dunia internasional melalui gelombang radio yang berpusat di Bandung. Walaupun pada saat itu, pemerintah Jepang memperketat siaran radio dan hanya memperbolehkan merilay siaran dari Tokyo melalui pemancar radio yang berada di Palasari Dayeuhkolot Bandung.
Para pemuda radio Bandung berhasil mengambil alih pemancar dari tangan Jepang dan kemudian melakukan hubungan dengan pemuda pos, telegraf dan telefoni (PTT) yang menguasai pemancar-pemancar radio di Dayeuhkolot dengan kekuatan 10 kilowatt. Pada pukul 19.00 malam (17 Agustus 1945), dibacakan teks proklamasi oleh Sakti Alamsjah didampingi RA. Darya, Sam Amir, dan Ny. Odas Sumadilaga. Call sign yang digunakan "Di sini Bandung Siaran Radio Republik Indonesia".
Radio Republik Indonesia (RRI) sendiri didirikan pada 11 September 1945, oleh para tokoh yang sebelumnya aktif mengoperasikan beberapa stasiun radio Jepang di 6 kota. Kemudian mereka melakukan rapat di rumah Adang Kadarusman di Jln. Menteng Dalam Jakarta, dalam rapatnya kemudian memilih Dr. Abdurahman Saleh sebagai pemimpin umum RRI yang pertama. Pada rapat itu, dikeluarkan pula deklarasi RII yang disebut Piagam 11 September 1945 yang berisi 3 butir komitmen kemudian dikenal dengan tri pasetya RRI (Butir ketiga berbunyi merefleksikan komitmen RRI untuk bersikap netral tidak memihak pada salah satu aliran/keyakinan partai atau golongan. 11 September kemudian diperingati hari Jadi RRI hingga kini.
Dari Bandung Selatan sejarah teknologi radio atau radio gelombang pendek lahir, yang menghubungkan dua negara dari dua benua. Dulu, di Bandung Selatan khususnya di Gunung Puntang Kecamatan Banjaran pernah berdiri Stasion Malabar yang sempat terkenal di masa penjajahan kolonial Belanda dan penjajahan Jepang. Gunung Puntang yang masuk kawasan kaki gunung Malabar ini, memang menawarkan sejuta keindahan bagi pengunjung.
Tidak hanya menawarkan wisata alam yang menyejukkan hati, dikawasan ini terdapat sebuah objek wisata sejarah peninggalan bangsa Belanda yang cukup unik. Sayang kondisinya kini sudah tidak utuh lagi dan hanya tinggal reruntuhannya. Pada tahun 1923, area ini merupakan suatu lokasi yang sangat terkenal di dunia karena terdapat sebuah stasiun pemancar radio Malabar yang dirintis oleh Dr. de Groot. Sebuah pemancar radio yang sangat fenomenal dikarenakan antena yang digunakan untuk memancarkan sinyal radio memiliki panjang 2Km, membentang diantara gunung Malabar dan Halimun dengan ketinggian dari dasar lembah mencapai 500 meter. Sulit untuk dibayangkan bagaimana cara mereka membangun dengan menggunakan teknologi yang ada pada masa tersebut.
Pada bagian dasar lembah, dahulu terdapat suatu bangunan yang cukup besar yang berfungsi sebagai stasiun pemancar guna mendukung komunikasi ke negeri Belanda yang berjarak 12000 km dari Indonesia.
Uniknya, stasiun ini adalah murni pemancar, sedangkan penerimanya ada di Padalarang (15km) dan Rancaekek (18km). Untuk mendukung adanya listrik terhadap stasion pemancar ini, Belanda kemudian membangun pembangkit listrik tenaga air (PLTA) di daerah utara Kota Bandung (Dago), PLTU di Dayeuh kolot, dan PLTA di Pangalengan, lengkap dengan jaringan distribusinya hanya untuk memenuhi kebutuhan pemancar radio tersebut. Pasalnya, teknologi yang digunakan untuk memancarkan sinyal radio itu masih menggunakan tekonologi yang boros energi (tenaga listrik). Pemancar ini antara lain masih menggunakan teknologi kuno yaitu busur listrik (Poulsen) untuk membangkitkan ribuan kilowat gelombang radio dengan panjang gelombang 20 km s/d 7,5 km.
Konon menurut catatan sejarah kuncen Bandung, Haryoto Kunto, gedung radio pemancar ini bentuknya sangat cantik di masa itu. Sayangnya, saat ini bangunan tersebut hanya tersisa beberapa potong tembok saja, dikarena struktur bangunannya yang terbuat dari separuh kayu dan separuh tembok. Selain sepotong sisa bangunan tadi, ada juga sisa struktur dinding kolam yang saat ini dikenal dengan nama Kolam Cinta, karena memang bentuknya mirip hati yang menandakan cinta (hati). Konon ada kepercayaan dari masyarakat setempat, jika sejoli berpacaran di lokasi ini akan membawa dampak bagi kelangsungan hubungan mereka, jika mereka mau mencuci muka atau mandi di kolan cinta tersebut. Kalau mau mendaki ke atas , sisa-sisa antena juga masih bisa dilihat dilereng gunung.
Selain bangunan utama berupa stasiun radio pemancar, pada area Gunung Puntang ini dahulunya juga terdapat perkampungan yang dihuni oleh awak stasiun pemancar dengan fasilitas yang cukup lengkap. Dulunya, perkampungan yang dikenal dengan Kampung radio (Radio Dorf) oleh masyarakat ini juga dilengkapi dengan rumah-rumah dinas petugas, lapangan tenis, bahkan konon gedung bioskop juga tersedia di masa tersebut.

Adapun para pejabat yang menempati rumah dinas saat itu diantaranya Mr.Han Moo Key, Mr.Nelan, Mr.Vallaken, Mr.Bickman, Mr.Hodskey, Ir. Ong Keh Kong dan tiga orang putra bangsa yaitu Djukanda, Sudjono dan Sopandi. Seluruh fasilitas tersebut diperuntukan bagi orang-orang Belanda yang memang tinggal di perkampungan radio tersebut. Lokasi jelasnya perkampungan radio ini, yakni berada di area bumi perkemahan Gunung Puntang (sekarang, red) Kec. Banjaran, Kab. Bandung, Jawa Barat dengan koordinat GPS (global positionning system) S007.111433 - E107.602583 dengan ketinggian dari permukaan laut 1290 ಮ್.

Komentar